BAB I
PENDAHULUAN
1.
A.
Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang
dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton
tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi,
di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim
administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam
rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata
kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah
(school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management
atau manajemen yang bermarkas di sekolah.[1]
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai pengertian dengan
penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut memiliki roh yang
sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom dalam pelaksanaan
manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya, yakni man, money,
dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan
tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh
karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).[2]
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur kebijakan
sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu
yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang
yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga
pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang
hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang
integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari
masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2
masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling
berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah,
sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
1.
B.
Rumusan Masalah :
Adapun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah :
1) Apa yang dimaksud dengan
manajemen berbasis sekolah (MBS)?
2) Bagaimana penerapan manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
1.
C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah
ini bertujuan :
1) Untuk mengetahui Manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
2) Untuk mengetahui penerapan
Manajemen berbasis sekolah (MBS)?
Adapun manfaat dari makalah ini adalah :
1) Sebagai solusi alternatif
dalam mengelola dan memanejemen pendidikan di sekolah
2) Menambah wawasan penulis
pembaca makalah ini dalam memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan
dalam aspek manejemen dan pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
A.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1) Pengertian Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan terjemahan dari
“school-based management”. MBS merupakan paradigma baru pendidikan, yang
memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan masyarakat ) dalam
kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis
sekolah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari
desentralisasi pendidikan.[3]
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan
partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru,
siswa, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk
meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan
dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga
pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada
manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua, melihat manajemen
lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen);
dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama dengan
istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk
mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan
efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.
Pengertian manajemen menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan
pada kita bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak
sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan
administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning),
mengorganisasikan (organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating),
mengawasi (controlling), dan mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen
pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik,
sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[4]
2) Tujuan MBS
1.
Meningkatkan
mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan
memberdayakan sumber daya yang tersedia;
2.
Meningkatkan
kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
melalui pengambilan keputusan bersama;
3.
Meningkatkan
tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang
mutu sekolahnya; dan
4.
Meningkatkan
kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan inti dari
MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta memberikan
beberapa keuntungan berikut:
1.
Kebijaksanaan
dan kewenangan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang
tua, dan guru.
2.
Bertujuan
bagaimana memanfaatkan sumber daya lokal.
3.
Efektif
dalam melakukan pembinaan peserta didik seperti kehadiran, hasil belajar,
tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
4.
Adanya
perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen
sekolah, rancangan ulang sekolah, dan perubahan perencanaan.
3) Manfaat MBS
MBS memberikan beberapa manfaat diantaranya
1.
Dengan
kondisi setempat, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat
lebih berkonsentrasi pada tugasnya;
2.
Keleluasaan
dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk
berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya
sebagai manajer maupun pemimpin sekolah;
3.
Guru
didorong untuk berinovasi;
4.
Rasa
tanggap sekolah terhadap kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan
pendidikan sesuai dengan tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
1.
B.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan
pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis
sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika Serikat,
pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American
Association of School Administrators, National Association of Elementary School
Principals, and National Association of Secondary School Principals,
menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better
learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para
pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang
mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang
bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam
ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama
mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan
birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul
belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru
dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan
birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk
mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang
penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah
pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah
urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari
pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang
masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima
di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh
dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau
kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional,
sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan
berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan
keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan
yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar
pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang
terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.[5]
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah
desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah
untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah
dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan,
kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara
ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika
perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan
hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian
memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara.
Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk
mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di
tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah
mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau
Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan
Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu
dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak
dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen
berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari
Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi
dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola
merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada
desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis
sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga
menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas.
Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara,
yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.[6]
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna.
Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda
dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih
mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya
budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi.
Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis
sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung
jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di
pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu implikasi
penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat
keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan
mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku
di seluruh sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah suportif
atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan sekolah
untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing sekolah.
Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci peran
dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah, kepala
sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas menyatakan
standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas sekolah. Setiap
sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup “seberapa baik
kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran, bagaimana sekolah menggunakan
sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang seperti
dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, penanganan
konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi antarpribadi
dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang terlibat di
sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan MBS. Untuk
memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar memerlukan
tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS mensyaratkan
yang berikut :
1.
MBS
harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.
MBS
lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
3.
Staf
sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4.
Harus
disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
5.
Pemerintah
pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang
tua murid.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1.
Tidak
Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan selain
pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut serta
dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan sekolah
harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut
perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki
banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan
mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau
tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
1.
Tidak
Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif
adakalanya menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan
dengan cara-cara yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja
sama dan memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
1.
Pikiran
Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan sekolah
kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak positif
karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain, kohesivitas
itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa enak
berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah mulai
terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang diambil
kemungkinan besar tidak lagi realistis.
1.
Memerlukan
Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar sama
sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan
partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
1.
Kebingungan
Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah sangat
terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan MBS
mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan. Perubahan
yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan kebingungan
sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan keputusan.
1.
Kesulitan
Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup kegiatan yang
beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien. Tanpa itu,
kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya masing-masing yang
kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah dilibatkan sejak
awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah ditangani sebelum
penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup tentang MBS dan
klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang diharapkan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang terlibat harus memahami apa
saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang dapat dibagi, oleh siapa, dan
pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa adakalanya
harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman penerapannya
di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil menerapkan MBS
telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan keterlibatan
dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
1.
C.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan dengan
paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan agar
penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu
strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan
MBS, yakni :
1.
Peningkatan
kapasitas dan komitmen seluruh warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua
siswa. Upaya untuk memperkuat peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang
mengiringi penerapan kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and
teachers will need capacity building if school-based management is to work”.
Demikian De grouwe menegaskan.
2.
Membangun
budaya sekolah (school culture) yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Termasuk membiasakan sekolah untuk membuat laporan pertanggungjawaban kepada
masyarakat. Model memajangkan RAPBS di papan pengumuman sekolah yang dilakukan
oleh Managing Basic Education (MBE) merupakan tahap awal yang sangat positif.
Juga membuat laporan secara insidental berupa booklet, leaflet, atau poster
tentang rencana kegiatan sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan
ketua Komite Sekolah dapat tampil bersama dalam media tersebut.
3.
Pemerintah
pusat lebih memainkan peran monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam
rangka monitoring dan evaluasi pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan
block grant yang diterima sekolah.
4.
Mengembangkan
model program pemberdayaan sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan
MBS, yang lebih banyak dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah.
Model pemberdayaan sekolah berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih
memberikan hasil yang lebih nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa
penataran MBS.[7]
Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat
dilihat berdasarkan kriteria berikut:
1.
Mampu
memberdayakan guru-guru untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik,
lancar, dan produktif.
2.
Dapat
menyelesaikan tugas dan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3.
Mampu
menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan
mereka secara aktif dalam rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4.
Berhasil
menerapkan prinsip kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan
pegawai lain disekolah.
5.
Bekerja
dengan tim manajemen
6.
Berhasil
mewujudkan tujuan sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Manajemen peningkatan mutu sekolah adalah suatu
metode peningkatan mutu yang bertumpu pada sekolah itu sendiri, mengaplikasikan
sekumpulan teknik, mendasarkan pada ketersediaan data kuantitatif &
kualitatif, dan pemberdayaan semua komponen sekolah untuk secara
berkesinambungan meningkatkan kapasitas dan kemampuan organisasi sekolah guna
memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat. Dalam Peningkatan Mutu yang
selanjutnya disingtkat MPM, terkandung upaya a) mengendalikan proses yang
berlangsung di sekolah baik kurikuler maupun administrasi, b) melibatkan proses
diagnose dan proses tindakan untuk menindak lanjuti diagnose, c) memerlukan
partisipasi semua fihak : Kepala sekolah, guru, staf administrasi, orang tua,
siswa dan pakar.
2. Prinsip-Prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Berdasarkan pengertian di
atas dapat difahami bahwa Manajemen Peningkatan Mutu memiliki prinsip,
diantaranya:
1.
Peningkatan
mutu harus dilaksanakan di sekolah.
2.
Peningkatan
mutu hanya dapat dilaksanakan dengan adanya kepemimpinan yang baik
3.
Peningkatan
mutu harus didasarkan pada data dan fakta baik bersifat kualitatif maupun
kuantitatif
4.
Peningkatan
mutu harus memberdayakan dan melibatkan semua unsur yang ada di sekolah
5.
Peningkatan
mutu memiliki tujuan bahwa sekolah dapat memberikan kepuasan kepada siswa,
orang tua dan masyarakat. (Hand out, pelatihan calon Kepala sekolah: 2000)
3. Penyusunan Program Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah
Adapun penyusunan program
peningkatan mutu dengan mengaplikasikan empat teknik : a) school review,
b) benchmarking, c) quality assurance, dan d) quality control.
Berdasarkan Panduan Manajemen Sekolah (2000:200-202) dijelaskan
sebagai berikut:
a. School Review
Suatu proses dimana seluruh
komponen sekolah bekerja sama khususnya dengan orang tua dan tenaga profesional
(ahli) untuk mengevaluasi dan menilai efektivitas sekolah serta mutu lulusan.
School review
dilakukan untuk menjawab pertanyaan berikut :
·
Apakah
yang dicapai sekolah sudah sesuai dengan harapan orang tua siswa dan siswa
sendiri?
·
Bagaimana
prestasi siswa ?
·
Faktor
apakah yang menghambat upaya untuk meningkatkan mutu ?
·
Apakah
faktor-faktor pendukung yang dimiliki sekolah ?
School review akan menghasilkan rumusan tentang kelemahan-kelemahan,
kelebihan-kelebihan dan prestasi siswa, serta rekomendasi untuk pengembangan
program tahun mendatang.
b. Benchmarking
Suatu kegiatan untuk menetapkan standar dan target yang akan
dicapai dalam suatu periode tertentu. Benchmarking dapat diaplikasikan
untuk individu, kelompok ataupun lembaga. Tiga pertanyaan mendasar yang akan
dijawab oleh benchmarking adalah:
1) Seberapa baik kondisi
kita?
2) Harus menjadi
seberapa baik?
3) Bagaimana untuk
mencapai yang baik tersebut?
Langkah-langkah yang dilakukan adalah:
1) Tentukan fokus
2) Tentukan aspek/variabel
atau indikator
3) Tentukan standar
4) Tentukan gap (kesenjangan)
yang terjadi.
5) Bandingkan standar dengan
kita
6) Rencanakan target untuk
mencapai standar
7) Rumuskan cara-cara program
untuk mencapai target.
c. Quality Assurance
Suatu teknik untuk menentukan bahwa proses pendidikan telah
berlangsung sebagaimana seharusnya. Dengan teknik ini akan dapat dideteksi
adanya penyimpangan yang terjadi pada proses. Teknik menekankan pada monitoring
yang berkesinambungan dan melembaga menjadi sub sistem sekolah.
d. Quality Control
Suatu sistem untuk mendeteksi terjadinya
penyimpangan kualitas out mput yang tidak sesuai dengan standar Quality
control memerlukan indikator kualitas yang jelas dan dan pasti sehingga
dapat ditentukan penyimpangan kualitas yang terjadi.
2.2. Perencanaan Strategi Mutu
Strategi adalah rencana yang menyangkut hal-hal
yang pervasive, vital, dan atau secara terus menerus penting dalam organisasi
(Sharplin dalam Sonhadji, 2003). Perencanaan ini biasanya bersifat luas dan
jangka panjang. Perencanaan strategi disebut juga formulasi strategi.[8]
Perencanaan strategi dalam hal ini terdapat 5
langkah pokok, yaitu: (1) perumusan misi (mission determination), (2)
asesmen lingkungan eksternal (environmental external assessment), (3)
asesmen organisasi (organizational assessment), (4) perumusan tujuan
khusus (objective setting), dan (5) penentuan strategi (strategy
setting).
BAB III
KESIMPULAN
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah melihat
tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan baru yang
sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang terus-menerus mampu
merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber nilai publik baru. Ini
berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan dan fungsi tata kelola
yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint) yang statis yang
membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara tepat
dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat, regional,
dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan sukarela.
Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara keseluruhan menjadi
lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya?.
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis sekolah
bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi sekolah.
Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari sekian
strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi yang
melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu sistem
sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2001. Konsep dan Pelaksanaan dalam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring dan Evaluasi dalam
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Dikmenum.
Hasibuan, Malayu. 2003. Manajemen Dasar, Pengertian dan
Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.
Mansoer, Hamdan. 1989. Pengantar Manajemen. Jakarta:
P2LPTK.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah Konsep,
Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suprihatin dkk, 2004. Manajemen Sekolah. Semarang:
UPT UNNES Press.
Sonhadji, Ahmad. 2003. Modul Bahan-Bahan Kuliah Manajemen
Strategik. Universitas Negeri Malang
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori,
Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.
[1] Depdiknas, Konsep dan
Pelaksanaan dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
Jakarta: Dikmenum. 2001. Hal. 15
[2] Mulyasa, E. Manajemen Berbasis
Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
2002. Hal.23
[3] Nurkolis. Manajemen Berbasis
sekolah Teori, Model dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo. 2003. Hal. 25
[4] Mansoer, Hamdan. Pengantar
Manajemen. Jakarta: P2LPTK. 1989. Hal. 57
[5] Ibid
[6] Op cit
[7] Depdiknas. Panduan Monitoring
dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:
Dikmenum. 2001. Hal. 43
[8] Sonhadji, Ahmad. Modul
Bahan-Bahan Kuliah Manajemen Strategik. Universitas Negeri Malang. 2003.
Hal : 33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar